Generasi Milenial : Mampukah Memberi Suasana Segar dalam Pemilu?
Tahun 2019 bagi Indonesia merupakan tahun yang sangat ramai dibicarakan banyak pihak karena pesta demokrasi terbesar akan dilaksanakan di Indonesia : pemilihan umum. Pemilihan umum yang tahun ini dilaksanakan pun memiliki keistimewaan tersendiri karena merupakan tahun pertama kalinya pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) dilaksanakan bersamaan. Tak heran, dialektika yang terjadi pun sangatlah beragam dan banyak terjadi mulai dari kalangan negarawan hingga ke sudut pinggiran kota.
Hal inilah yang membuat Indonesia berada dalam kedinamisan politik yang tak berujung hingga pemungutan suara pada Rabu, 17 April 2019 serta seluruh rangkaian acara pemilu usai. Seperti yang telah kita ketahui saat ini, dengan istimewanya tahun ini menimbulkan pula akibat-akibat yang istimewa pula, salah satu yang perlu perhatian adalah potensi masalah yang akan terjadi dari berbagai aspek kehidupan di Indonesia.
Dengan munculnya pendukung pada kedua kubu, maka kerentanan konflik yang akan terjadi semakin besar dan efeknya pun bisa sangat luas jika kita melihat dalam berbagai lingkup masyarakat. Dalam lingkup masyarakat sipil bisa jadi terbentuk perkumpulan atau komunitas yang bermusuhan satu sama lain karena berbeda pilihan, sampai dalam lingkup keluarga bisa saja suami dengan istrinya bertengkar dan tidak ingin bercengkrama karena berbeda pilihan. Jika dilihat dari perspektif luar negeri, masalah yang muncul bisa sangat beragam seperti turunnya tingkat ketertarikan investor untuk menanamkan investasinya di Indonesia, bahkan bisa jadi lemahnya hubungan diplomatik Indonesia terhadap suatu negara karena kedinamisan tersebut.
Kerentanan masalah lain yang harusnya tidak luput dari perhatian kita juga adalah semakin meningkatnya golongan putih atau yang biasa kita sebut sebagai golput dalam pesta demokrasi tahun ini. Dilansir dari laman tirto.id, persentase pemilih golput selalu naik setiap dilaksanakannya pemilihan umum baik itu pilpres maupun pileg mulai dari pilpres 2004, 2009 dan 2014 yang mencapai 21.8%, 28.3% serta lebih dari 30% secara berturut-turut. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan dikarenakan peluang angka ini semakin naik pun dikhawatirkan akan meningkat lagi. Sama halnya pula dengan masalah terkait kecurangan peserta pemilu, seperti politik uang, black campaign dan banyak hal lainnya yang dianggap sangat berpotensi.
Masalah-masalah yang sebelumnya disebutkan sebenarnya hanya sebagian dari yang sebenarnya terjadi sehingga sangat mungkin bentuk dari masalah yang sebenarnya seperti benang kusut yang sulit sekali diuraikan dan membuat lingkaran-lingkaran setan terhadap masalah-masalah lain yang ada di negeri kita ini. Hal ini tentu akan sangat merugikan kita jika kita terbawa arus masalah dan tidak bisa berpikir jernih untuk bisa menguraikan satu per satu masalah yang terjadi untuk dicarikan solusi baik itu oleh pemikiran kita, kelompok kita atau oleh pemimpin kita sendiri.
Dari pemaparan tersebut, tentunya kita sebagai warga negara Indonesia mengharapkan agar muncul berbagai macam solusi yang solutif dalam mengatasi berbagai permasalahan yang semakin lama dibiarkan akan semakin sulit untuk diurai. Jika kita becermin pada masa depan Indonesia, yang diwanti-wanti akan menjadi bagian bersejarah bagi bangsa Indonesia karena bangsa yang lahir pada 17 Agustus 1945 ini akan memasuki masa keemasannya, yaitu pada saat bonus demografi yang akan dialami bangsa yang dijuluki sebagai Jamrud Khatulistiwa ini.
Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi pada tahun 2020–2030 mendatang, dilansir dari laman cnnindonesia.com. Pada tahun tersebut, jumlah penduduk berusia produktif (15–64 tahun) akan mencapai 70%. Hal ini tentu terlihat sangat menjanjikan bagi bangsa Indonesia, namun di lain sisi pula hal ini dapat menjadi bumerang yang memberikan kutukan dan berbagai macam permasalahan. Sejatinya, memang diperlukan usaha keras pula untuk bisa mengubah bonus demografi tersebut menjadi sesuatu yang sangat bermanfaat dalam membuat Indonesia menjadi negara yang super power, bukan dengan membiarkannya dan berharap suatu saat bonus ini bisa memberikan perubahan yang besar menuju yang lebih baik.
Berkaca dari prediksi tersebut, kita harus sadar bahwa masa depan Indonesia seutuhnya dipegang oleh orang-orang yang berusia produktif, ya, generasi milenial. Definisi generasi milenial yang penulis ambil didefinisikan sebagai manusia yang lahir pada tahun 1980 hingga tahun 2000. Generasi ini merupakan generasi yang jauh berbeda dari generasi-generasi sebelumnya, terutama hal yang paling membedakannya adalah frekuensi penetrasi teknologi. Generasi yang dipertaruhkan di masa depan ini, sudah semestinya mulai dari sekarang sadar akan potensi yang dimilikinya agar bonus demografi menjadi suatu keuntungan besar, bukan malah menjadi kerugian bahkan kutukan bagi bangsa yang besar ini. Potensi-potensi tersebut sebenarnya sudah bisa dicermati saat ini dalam berbagai macam permasalahan yang dihadapi seperti ekonomi, budaya, sosial bahkan politik. Membahas berbagai masalah yang muncul, sudah semestinya kita turut mempertanyakan peran generasi yang “katanya” akan membawa perubahan besar yaitu “Apakah generasi milenial ini akan membawa suatu kesegaran bagi perkembangan Indonesia?” Jika dikaitkan dengan tahun ini, yaitu tahun politik, pertanyaan yang muncul akan berbentuk “Apakah generasi milenial akan membawa kesegaran atau kejernihan atau sebaliknya membawa kekeruhan bagi keberlangsungan pemilihan umum?”.
Pemilihan umum merupakan suatu ajang besar untuk melahirkan pemimpin-pemimpin Indonesia yang bisa membawa perubahan yang menyeluruh untuk menjadi lebih baik lagi. Ya, kata perubahan merupakan kata yang selalu dibawa oleh kandidat-kandidat pemilu dalam setiap kampanye mereka. Keinginan untuk melakukan perubahan tersebut sejatinya muncul karena perasaan serta pengalaman atas masalah-masalah yang terjadi dan tidak ingin agar masalah-masalah tersebut terulang kembali. Pada makalah ini, penulis akan membahas terkait peran milenial dalam mencegah masalah yang terjadi pada pemilihan umum yang penulis definisikan sebagai konflik yang mengedepankan arogansi serta emosi dalam menanggapi lawan politik yang padahal semestinya mengedepankan akal sehat dan pikiran, baik itu di dunia maya melalui media sosial dan semacamnya sampai dunia nyata seperti tidak pernah bercengkrama lagi hingga kontak fisik. Karena penulis berasal dari latar belakang Teknik Informatika, maka penulis akan mencoba menyajikan sudut pandang dari ilmu yang sedang penulis tekuni.
Dalam membahas peran generasi milenial kali ini terhadap potensi masalah yang terjadi, dalam hal ini konflik yang telah didefinisikan sebelumnya, penulis hanya akan membahas dalam 1 hal utama yaitu dunia maya. Peran dalam dunia maya penulis bagi menjadi menjadi 2 poin yaitu sebagai objek dan subjek teknologi.
Generasi milenial bisa dikatakan merupakan suatu istilah yang sangat viral belakangan ini. Istilah ini mudahnya menunjuk kepada muda-mudi yang sedang mencari jati dirinya. Seperti yang sudah dijelaskan, penetrasi teknologi merupakan salah satu pembeda paling jelas dengan generasi-generasi sebelumnya. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada tahun 2016 penetrasi pengguna internet Indonesia 2 peringkat teratas diduduki oleh masyarakat berumur 25–34 tahun serta 10–24 tahun dengan persentase 75.8% serta 75.5% secara berturut-turut. Dalam bukunya yang berjudul Socrates Cafe, Sahrul Mauludi menyatakan bahwa data tersebut merupakan petunjuk bagaimana potensi bangsa ini dapat diberdayakan dan penduduk berusia produktif seharusnya dapat diarahkan untuk memanfaatkan teknologi semaksimal mungkin. Melalui data tersebut saja kita bisa mengambil perhatian yang cukup kepada teknologi yang digunakan oleh generasi milenial. Namun, pertanyaannya apakah generasi milenial sudah cukup ideal dalam menggunakannya?
“Jika digunakan dengan benar, media sosial dan teknologi digital akan memiliki berkah bagi bangsa Indonesia. Bisa mempererat silaturahmi dan mempersatukan warganet dari Sabang sampai Merauke” kata Menkominfo RI, Rudiantara. Dari nasihat beliau, kita dapat melihat suatu rasa optimisme yang sedang dibangun pemerintah agar warganet yang didominasi oleh generasi milenial bisa memiliki peran yang mungkin bagi sebagian orang tidak penting namun sebenarnya vital bagi kehidupan bangsa ini, dan bisa kita refleksikan dalam proses pemilihan umum tahun ini, terutama terhadap permasalahan konflik. Sebagai subjek teknologi, milenial bisa disebut sebagai dominasi. Hampir segalah hal yang berkaitan dengan penggunaan teknologi menunjuk pada generasi ini. Namun, nyatanya berdasarkan data APJII lagi, pada tahun 2016 2 jenis konten terbesar internet yang diakses adalah media sosial dengan persentase 97.4% serta hiburan dengan 96.8%.
Tentu, melihat dari fakta tersebut serta dominasi milenial dapat membuka peran pertama milenial dalam mencegah konflik dalam pemilu, yaitu persuasi untuk melek politik. Kuantitas yang dimiliki generasi emas ini harus dibarengi dengan kualitas yang ada agar dapat menjalankan peran ini secara mangkus dan efisien. Dengan kesadaran milenial untuk memberikan persuasi melalui dunia maya, terutama media sosial, baik antara milenial maupun dengan generasi non milenial dapat mengubah konten-konten yang diakses bahkan tidak mustahil mengubah konten-konten yang disajikan itu sendiri menjadi lebih berkualitas lagi tanpa adanya hoaks, ujaran kebencian,fitnah dan hal-hal buruk lainnya yang juga menjadi viral saat ini. Namun, yang harus diperhatikan adalah peran generasi milenial terhadap generasinya sendiri, karena seperti yang kita rasakan sendiri, penggunaan media sosial di kalangan milenial masih sangat didominasi oleh hal-hal terkait kesenangan, yang faedahnya pun bisa dipertanyakan. Sampai-sampai, Rhenald Kasali, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia menyampaikan “Generasi milenial paling jauh hanya akan buat heboh di sosial media, ribut melulu, buat meme, tapi tak berani bertindak, mengambil keputusan”. Jadi, adalah sebuah pekerjaan rumah yang besar bagi kita yang sudah sadar akan pentingnya peran dalam melakukan persuasi untuk melek politik yang dimulai dengan lingkungan sekitar kita terlebih dahulu, lalu setelah itu baru memperlebar sayap ke lingkup yang lebih luas lagi.
Setelah peran ini dapat berjalan, barulah kita bisa menghadapi peran selanjutnya bagi para milenial yaitu mengkampanyekan bijak dalam menggunakan media sosial. Kita tahu bahwa arus informasi dalam media sosial sangatlah kencang dan tidak dapat dibendung oleh masing-masing dari kita. Belum lagi dengan adanya informasi hoaks, fitnah, ujaran kebencian yang terus menerus mengalir deras yang keberadaannya pun terkadang membuat kepercayaan kita semakin bergejolak sampai-sampai kita tidak bisa membedakan lagi mana yang benar dan mana yang salah. Peran inilah yang sangat potensial untuk digerakkan oleh milenial itu sendiri walaupun memang pengguna media sosial didominasi oleh generasi milenial. Kita bisa melihat ada usaha-usaha untuk menuju kesana seperti aplikasi berbasis web Hoax Analyzer yang diciptakan oleh Mahasiswa ITB.
Tentunya, dalam menjalankan kedua peran tersebut, dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak, terutama pemerintah agar peran tersebut dapat benar-benar terealisasikan secara mangkus dan efisien, dan memberikan dampak yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia sebab kontestasi pemilu merupakan lahan yang sangat cocok bagi tumbuh suburnya konflik yang bisa menjadi konflik berkepanjangan. Hal yang penting pula, kita sebagai generasi milenial tersebut harus mengeluarkan usaha yang maksimal dikarenakan sebenarnya dari penjelasan sebelumnya masalah-masalah yang menghambat agar kedua peran ini bisa berjalan adalah dari milenial itu sendiri. Hal inilah yang menjadi tantangan tersendiri yang harus kita sama-sama hadapi.
Berpindah dari subjek menjadi objek, tentunya ada juga peran yang bisa diberikan generasi milenial sebagai objek dunia maya terhadap pencegahan konflik pemilu. Kita semua pasti tahu bahwa yang menciptakan teknologi dan media sosial, lebih luas lagi yang menciptakan dunia maya adalah engineer, lebih spesifik lagi informatics and Computer Science Engineer. Dampak-dampak yang terjadi saat ini baik yang positif maupun negatif sebenarnya adalah dampak dari penciptaannya itu sendiri. Maka, dari hal ini muncullah peran bagi para pencipta teknologi, yaitu pengambilan keputusan terhadap produk rekayasa. Sebagai orang yang sedang menekuninya, penulis sadar betul bahwa pengambilan keputusan terhadap produk yang ingin dikembangkan sangatlah penting bagi kesehatan berwarganegara di Indonesia. Perlu adanya kajian dan penimbangan yang sangat matang terhadap dampak-dampak yang akan ditimbulkan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Kita sebagai pencipta harus memberikan perhatian yang cukup besar dalam hal ini, jangan sampai pengembangan terhadap suatu produk hanya didasari agar bisa menjadi viral, dan memenuhi kesenangan pengguna belaka. Namun, lebih jauh dari itu seharusnya produk yang dikembangkan harus bisa memberikan manfaat dengan rasio kerugian keseluruhan terhadap manfaatnya sangatlah kecil. Peran ini jika kita pikirkan ternyata bisa mencapai peran yang vital dalam keberlangsungan proses politik di Indonesia tahun ini, karena beberapa alasan tersebut.
“Prolific developers don’t always write a lot of code, instead they solve a lot of problems. The two things are not the same”, ujar John Chambers, pencipta bahasa pemrograman S. Masuk akal bahwa yang harus dikejar oleh para pengembang perangkat lunak dan secara umum teknologi adalah menyelesaikan masalah dan bukan berarti mengerjakan banyak tugas dalam hal ini menulis banyak kode. Hal yang tidak boleh dilupakan pula dengan menyelesaikan masalah, harus dipikirkan apakah malah akan menimbulkan masalah baru yang bisa jadi lebihh besar dari masalah yang diselesaikan. Oleh karena itu, kita harus mengidentifikasikan masalah sampai ke akarnya. Jika diterapkan ke dalam peran ini, para pengembang harus bisa melihat dari banyak sudut pandang terkait potensi konflik pemilu yang terjadi saat ini agar bisa melakukan pencegahan.
Beberapa peran tersebut mungkin hanya sebagian dari bermacam-macam peran yang dapat diberikan melalui sudut pandang yang berbeda. Maka dari itu, kita sebagai generasi pemegang estafet kepemimpinan 10 hingga 20 tahun mendatang harus bisa mencari sudut pandang yang bisa kita jadikan pegangan agar bisa memberikan suasana segar serta memperluas pemahaman bahwa Indonesia butuh banyak sudut pandang dalam penyelesaian suatu masalah, apalagi dalam konteks tahun politik ini.